Hampir setiap hari disaat ada waktu
senggang Baron selalu menghubungi ibunya lewat telephon. Menceritakan
tentang Amalia kekasihnya dengan menggebu-gebu. Tentang kebaikannya,
kecantikannya, dan keindahan budi pekertinya. Saat itu Baron selalu
membayangkan wajah ibunya berseri-seri. Ia sudah cukup lama menanti
Baron mengakhiri masa lajangnya yang panjang.
Mulanya Baron menganggap, soal
perempuan adalah point terakhir setelah karier dan membahagiakan ibu.
Juga tetek bengek persiapan masa depan seperti rumah, kendaraan dan
sedikit tabungan. Tapi rupanya tidak ada satu orangpun di dunia ini yang
mampu mengendalikan waktu. Hari merupakan monster ganas pemakan usia.
Tak terasa kini Baron sudah menjadi lajang lapukan. Hingga kemudian
ibunya mulai rewel karena khawatir.“Masa tidak ada seorang gadispun yang
mau melirik Baron ibu yang ganteng begini.”
Ibunya mulai menyindir setiap kali Baron pulang.
“Baron,
coba agresip sedikit kenapa. Jangan acuh begitu. Ingat usiamu sudah
tidak muda lagi. Ibu kepengen banget melihat kamu berkeluarga dan
bahagia.”
Sejak ibunya sering mengeluhkan
usia Baron yang tak lagi muda, dan memintanya untuk segera menikah,
Baron seperti dipacu untuk segera mendapatkan calon istri. Padahal
pacarpun ia tidak punya. Sementara rutinitas kerja tidak memberinya
banyak kesempatan untuk bersosialisasi. Di samping Baron tidak memiliki
bakat untuk mendekati perempuan. Sejak itu ia mulai menyadari betapa
sulitnya mencari calon istri. Sama sulitnya dengan mencari lapangan
pekerjaan. Waktu terus berjalan dan Baron masih saja sendirian.
“Baron coba lihat, tidak ada
satu gadispun yang tersisa untukmu,” cermin di kamarnya berkata sambil
tersenyum sinis. “Masa buat kamu telah lewat. Sekarang kamu tidak lagi
muda, kamu sudah menjadi om-om. Mana ada gadis yang mau dipersunting
bujang lapuk.”
Baron semakin panik.
Akhirnya ia terpaksa membuang
semua gengsi dan rasa malu. Ia perlu mediator. Baron mulai membisiki
teman-teman sekantornya supaya mau membantunya mencarikan calon istri.
Teman-temannya dengan senang hati menyambut gagasan Baron. Mereka mulai
mempertemukan Baron dengan beberapa gadis. Tapi sayangnya dari sekian
wanita yang ditawarkan temannya, tak ada satupun yang menarik minatnya.
“Gadis seperti apa sih yang kamu cari Baron?” salah satu temannya bertanya dengan sedikit kesal.
“Kalau usia sudah tidak muda lagi, jangan memasang kriteria terlalu tinggi dong,” temannya yang lain menyinggung.
Baron jadi malu sendiri. Bagai
mana mungkin dia akan menikah dan bisa bahagia dengan gadis yang sama
sekali tidak menawan hatinya. Hingga kemudian diambang rasa putus asa,
Baron menemukan Amelia. Gadis belia berwajah manis yang ditemukannya
tanpak sengaja di pasar swalayan. Saat itu adalah hari minggu yang
membosankan. Seperti biasa dia selalu terpenjara dalam kesendirian.
Semua tetangganya di komplek perumahan tempatnya tinggal sudah keluar
meninggalkan rumah sejak tadi pagi untuk berlibur. Yang sudah
berkeluarga pergi bersama anak istrinya, dan yang masih bujangan pergi
dengan pacar-pacarnya. Jadi hanya Baronlah yang tertinggal sendiri. Dia
tidak memiliki seseorang yang harus diajaknya bersenang-senang. Setelah
usai membersihkan rumah dan mencuci mobil, Baron iseng jalan-jalan ke
pasar swalayan. Sebetulnya ia tidak berniat untuk membeli apapun. Tidak
ada yang dia butuhkan. Baron hanya ingin jalan-jalan untuk mencairkan
kepenatan.
Di salah satu counter, tepatnya
conter batik, Baron menemukan sepasang remaja yang tengah terlibat
percakapan serius. Sang gadis kelihatannya penjaga counter, Baron dapat
memastikannya setelah melihat seragam yang dikenakannya. Dan yang pria,
sepertinya mereka pasangan kekasih. Tanpa sengaja Baron mendengar
pertengkaran mereka.
“Pokoknya setelah ini, kita tidak perlu ketemu lagi. Kita putus,” pekik si pria diliputi kemarahan.
“Terserah apapun yang elo mau. Gue ngga perduli..”
Dan
pemuda itupun berlalu dengan langkah lebar. Sang gadis tidak
menghiraukannya. Ia mengambil buku bon dan mengorat-ngoret sesuatu di
permukaannya.
“Mba kemeja batik
ini berapa harganya?” Baron mendekati gadis itu sambil menenteng sebuah
kemeja di tangannya. Sesaat gadis itu mengusap pipinya. Baron melihat
permukaan buku yang dipegangnya basah. Dia menangis.
“Oh
maaf,” gadis itu meraih kemeja di tangan Baron dan membantunya
mencarikan bandrol harga di balik leher kemeja. “Ini dia, dua ratus ribu
pak,” katanya seraya tersenyum basa-basi.
Seketika hati Baron tercekat.
Ternyata dia gadis yang cukup cantik, katanya dalam hati. Awalnya Baron
cuma iseng memilih-milih kemeja batik, tapi setelah melihat wajah sang
pelayannya yang manis, akhirnya ia memutuskan untuk membelinya satu
buah. Hingga kemudian dia pulang dan membaringkan tubuhnya di atas
tempat tidur, wajah gadis manis itu tidak pernah lepas dari benaknya.
Mungkin inilah yang disebut cinta pada pandangan pertama. Pikir Baron
dalam hati.
Gagasan untuk mendapatkan gadis
itu kian hari kian menggebu. Ia tidak berniat menceritakan pada
teman-temannya kalau ia tengah jatuh cinta. Tapi setiap pulang kerja,
Baron selalu menyempatkan waktu mampir ke pasar swalayan itu dan menemui
gadis yang telah merebut hatinya di counter batik. Bahkan tak terasa
dia sudah menghabiskan dana cukup besar untuk membeli lima kemeja batik
yang sama sekali tidak ia butuhkan. Meski demikian pada akhirnya kerja
kerasnya berbuah manis. Dia berhasil berkenalan dengan Amelia dan saling
bertukar nomor handphon.. Lalu pada hari selanjutnya Baron sudah bisa
mengajaknya makan berdua di restoran pastfood dan mengantarkannya
pulang. Tak ayal lagi hati baron berbunga-bunga.
“Cowok yang dulu bertengkar
dengan kamu di counter itu pacar kamu ya Mel?” tanya Baron suatu malam
ketika mengantar Amelia pulang.
“Awalnya ya. Tapi sekarang tidak lagi.”
“Kenapa putus?” kejar Baron.
“Orangnya terlalu posesif, padahal sebetulnya dialah yang suka selingkuh.”
“Sekarang pacarmu siapa?”
Amelia menatap Baron heran. “Kan kamu yang jadi pacarku sekarang mas.”
“Siapa yang bilang aku mau jadi pacar kamu Mel,” goda Baron.
Amelia mendelik. “Terus maksud kamu hubungan kita ini apa mas?”
Baron tertawa. “Aku sebetulnya tidak mau pacaran Mel. Aku ingin kamu jadi istriku.”
Amelia memukuli bahu Baron manja.
Kian hari hubungan Baron dengan
Amelia kian mesra saja. Tak terpungkiri Amelia telah membuat Baron amat
tergila-gila. Baron ikhlas meski telah menghabiskan banyak uang untuk
membelikan berbagai hadiah mahal buat Amelia. Baginya yang terpenting
bisa membuat Amelia semakin mencintainya. Dan iapun tidak pernah lupa
membawa berbagai buah tangan untuk keluarga Amelia setiap kali
berkunjung ke rumahnya. Tentu saja ibu Amelia dapat menerima Baron
dengan tangan terbuka. Hanya tinggal beberapa langkah lagi untuk bisa
menikahi Amelia segera.
Baron yakin betul, Amalialah
belahan jiwanya. Calon permaisurinya yang akan menyemarakan rumah
kecilnya dengan anak-anak yang lahir dari rahimnya. Disamping desakan
usia, ia tidak akan menunda terlalu lama untuk mewujudkan impiannya
menikahi Amalia. Dengan penuh kesadaran Baron mulai menceritakan tentang
latar belakang hidupnya. Tentang masa kecilnya yang serba sulit karena
ditelantarkan ayahnya. Tentang ketabahan ibunya yang telah
membesarkannya dan membiayai sekolahnya seorang diri. Juga tentang
ayahnya yang tidak diketahui keberadaannya hingga kini.
“Jadi kalau sudah jadi istri
mas, kamu jangan takut disakiti,” kata Baron pada Amelia. “Apapun yang
terjadi, mas tidak akan menelantarkan anak istri. Karena mas tahu betul
seperti apa penderitaan ibu setelah ditinggalkan ayah.”
“Pernahkah terbersit dipikiran mas untuk mencari dan menemui ayah mas sekarang?” tanya Amelia.
Baron menggeleng. “Tidak. Bagi mas dia sudah mati.”
Sejak
kecil Baron memang sudah bersumpah untuk tidak mencari ayahnya,
sekarang ataupun nanti. Ia hanya akan mengabdikan seluruh hidupnya untuk
membahagiakan ibu.. Dan ketika ia menemukan Amelia, ia selalu berbagi
rasa pada ibunya dengan menceritakan seluruh perjalanan asmaranya
bersama Amalia. Ia tahu, ibunya akan sangat bahagia karena sebentar lagi
akan memiliki seorang menantu yang sudah cukup lama ia tunggu.
“Bawalah segera calon istrimu ke sini, ibu sudah tidak sabar ingin mengenalnya,” kata ibunya di seberang telephon.
Lalu
Baron bercerita pada Amelia tentang ketidak sabaran ibunya yang ingin
segera mengenal calon menantu. Dan iapun berencana mengajak Amelia untuk
menemui ibunya minggu depan.
“Ibu senang sekali setelah tahu kita akan datang, dia bilang akan memasak yang enak buat calon istriku.”
“Tapi mas harus minta ijin dulu ke bapak kalau mau ngajak saya,” ujar Amelia.
“Tentu saja, mas akan segera meminta ijin sama bapak kamu. Kalau bisa sekalian melamar kamu,” kata Baron penuh semangat.
Pada
hari yang ditentukan, Baron datang ke rumah Amalia untuk berbicara pada
ayahnya, kalau anak gadisnya akan dibawa untuk diperkenalkan pada
ibunya. Baron duduk di kursi di ruang tamu rumah Amalia yang sempit. Ibu
Amalia datang, menyuguhkan sirup dingin rasa leci buat Baron.
“Silahkan minum nak Baron,” ujar ibu Amalia, lalu kemudian menghilang ke belakang.
Baron memang belum pernah
bertemu dengan ayah Amelia sebelumnya. Dan kini ia merasakan telapak
tangannya berkeringat karena gugup. Ia takut ayah Amelia tidak merestui
hubungannya. Siapa sih orang tua yang rela menikahkan anak gadisnya
dengan bujang lapuk seperti dirinya. Namun ketika laki-laki setengah
baya itu muncul dan duduk di hadapannya, Baron seperti dilanda de javu.
Ia amat mengenal laki-laki itu sebelumnya. Tapi di mana? Benarkah ini
ayah Amelia? Seketika Baron merasakan kepalanya pening. Mereka berdua
berbicara kaku, tidak cukup lama Dan tidak cukup banyak yang mereka
perbincangkan. hingga kemudian Baron pamit pulang.
“Kok mas lesu, bapak tidak
ngasih ijin ya?” tanya Amelia curiga begitu mengantar Baron ke depan.
“Atau bapak tidak menyetujui hubungan kita?”
Baron berpaling pada Amelia yang tengah mengawasinya diliputi berbagai dugaan. “Percayalah tidak ada apa-apa kok.”
“Lalu
kenapa setelah bertemu dengan bapak mas tampak kehilangan semangat?”
tanya Amelia lagi. “Bapak mengatakan sesuatu yang menyakiti hati mas
ya?”
“Tidak. Sama sekali tidak Amelia. Mas hanya merasa ngga enak badan.”
Tapi
sebelum masuk ke dalam mobil, Baron berpaling pada Amelia dan
menggenggam kedua tangannya erat. “Maafkan aku Amelia. Mungkin besok
kita ngga jadi nemuin ibu, karena mas dapat tugas mendadak dari kantor.”
Padahal keesokan harinya,
subuh-subuh sekali, Baron berangkat seorang diri. Ia tahu, ibunya sudah
mempersiapkan banyak hal untuk menyambut calon istri putra
kesayangannya. Dan ketika mendapatkan kenyataan kalau Baron hanya pulang
seorang diri, ibunya sudah tidak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan
hati.
“Kamu ini bagai mana sih
Baron, lihat ibu sudah masak banyak. Sudah mempersiapkan kamar yang
nyaman buat Amelia. Tapi kok kamu…….”
Baron merengkuh ibunya dan menjatuhkan diri keatas pangkuannya. “Amelia adikku ibu…. Dia anak bapak….”
Baron menangis terisak-isak. Hatinya terasa ngilu. (PUSKA TANJUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar