MASIH ADA CINTA BUAT MELATI

Kuntum Melati belum juga merekah. Masih putik dengan kelopak tertangkup rapat. Dia belum juga ranum. Tidak ada kegenitan yang meremas gemas. Tidak ada kemolekan nan seronok dengan aroma sedap hingga mengundang para kumbang untuk bertandang. Melati masih pentil. Masih mentah. Masih bau ingus. Semestinya wajah melati putih lesi tak ternoda. Seperti wajah para sufi yang tidak berani mematahkan meski sebelah sayap nyamuk kurang ajar yang tengah menghisap darah di cuping hidungnya. Seharusnya Melati masih amat suci. Atau mungkin pada hakikatnya ia masih suci, walau putiknya sudah terpetik, lalu terhempas ke dalam genangan lumpur dan terinjak kaki kekar telanjang yang dekil. Sejatinya ia seperti kuntum-kuntum kecil yang lainnya, dijaga, dipupuk, dipelihara, lalu dironce hingga menjadi hiasan jelita sanggul para pengantin rupawan.
      
   Tapi nasib menggariskan Melati kecil ke dalam catatan kisah kelam. Wajah polosnya digayuti kepedihan hidup yang amat sarat. Seperti terbawa angin, tubuh mungilnya melesat di bawah redup cahaya bulan. Kaki kurusnya yang telanjang menerobos belukar, sehingga kulit betisnya carut marut tergores duri. Ia tidak perduli. Ada yang lebih perih merejam di balik kerongkong dadanya. Bibirnya yang gemetar menyucup air asin. Matanya basah. Ia terus berlari. Berlari sekencangnya menuju sungai kecil yang berada jauh di belakang rumahnya.
            Dengan kaki gemetar, sejenak ia berdiri di tepi sungai. Cahaya bulan yang temaram memantul di permukaan air. Diliputi kebencian ia melempar ranting kecil yang dipungut di bawah kakinya. Seketika permukaan air sungai yang semula tenang meriak. Di sana ia melihat bayangan wajah tirusnya yang bergoyang-goyang di latari bulatan bulan di ujung rambut kusutnya.
            “Kamu mewarisi kecantikan ibumu Melati. Tidak ada yang dibuang,” kata ayahnya.
            “Jangan samakan aku dengan ibu,” sinisnya.
            “Kenapa? Ibumu itu cantik. Kamu tidak bangga?”
            “Aku tidak punya ibu.”
            “Terus kalau kamu tidak punya ibu, kamu lahir dari mana?”
            “Aku lahir dari belahan batu.”
            Ayahnya tertawa. “Seumur hidupku, ayah tidak akan sudi memeluk bongkahan batu, Melati.”
            “Ayah…” Melati memberanikan diri bermanja-manja. Ia memeluk leher ayahnya dari belakang. Ini lah kali pertama ia menemukan cinta. “Hanya ayahlah satu-satunya orang yang paling Melati sayang.”
            “Kenapa cuma ayah?”
            “Karena hanya ayahlah yang  Melati miliki,” katanya. Betapa inginnya ia mengatakan, ayah, aku amat bahagia karena pada akhirnya aku mengetahui kalau ayah menyayangikuWalau cuma ayah, itu cukuplah sudah bagiku.
            Selama hidupnya, Melati selalu menganggap bahwa tak ada satu orangpun di dunia ini yang menginginkannya. Ibunya mencampakannya disaat ia amat membutuhkan asinya dan lebih memilih pergi dengan laki-laki yang dicintainya. Sementara ayahnya, ia sama sekali tidak mengenalnya. Ayahnya menghilang jauh sebelum dirinya keluar dari kegelapan rahim ibunya. Lalu ia besar dalam asuhan neneknya dengan penuh keterpaksaan.
            Melati tidak pernah sekalipun merasa kalau wanita tua berwajah masam itu neneknya. Bahkan ia tidak dapat membayangkan, seperti apa neneknya merawat dirinya dulu disaat ia belum bisa mengingat. Kadang ia kagum sekaligus sebal memikirkan ketahanan pisiknya. Mengapa ia masih saja tetap hidup setelah apa yang mereka lakukan. Wanita tua itu tak pernah berhenti mencacinya, seolah dirinya sebongkah aib yang menjijikan.
            “Dasar anak haram!” pekiknya seringkali dengan bola mata mendelik. “Kamu itu berengsek seperti bapakmu. Tidak bertanggung jawab. Pemerkosa.”
            Melati hanya terisak di pojok kamar belakang. Sebuah kamar kecil yang pengap yang disediakan untuk dirinya. Kadang neneknya melemparnya dengan asbak, atau dengan apa saja yang terjangkau tangannya, disaat Melati melakukan kesalahan kecil. Misalnya ia lupa menyiram bunga atau lupa memandikan kucing kesayangan neneknya. Sementara ibunya, setiap datang ia sama sekali tidak melihat sebelah matapun pada Melati. Bahkan untuk sekedar menegurpun, melati tidak berani. Dia hanya sebuah bayangan dari kejauhan. Di saat-saat tertentu, ketika seluruh keluarga besar neneknya berkumpul, dan semua saudara-saudara sebayanya bermain di halaman dan berebut makanan sambil bersenda gurau, Melati berada di pojok dapur dengan setumpuk piring kotor. Keberadaannya tak lebih dari seorang pembantu hina. Dan ibunya hanya mencuri pandang, sama sekali tidak menaruh iba.
            Melati duduk di atas batu sambil menangis sampai air matanya habis. Lalu mengawasi air sungai yang menghitam. Gadis kecil itu berpikir, hidup baginya adalah kutukan. Ia mencium bau aroma alcohol di sekujur tubuhnya. Puting payudaranya yang mungil terasa perih. Laki-laki pemabuk itu tadi melumatnya sampai habis. Ia jijik. Ia membenci dirinya. Seperti juga neneknya, ibunya dan semua orang yang ada di muka bumi ini.
            Di puncak lara yang menggila, hanya pemuda itulah yang selalu datang membesarkan hati Melati. Asmat tukang kebun yang bekerja di rumah neneknya. Dialah satu-satunya yang paling perduli pada melati. “Aku tidak tahan melihat mereka memperlakukanmu seperti ini, Melati,” lelaki itu membelai telapak tangan Melati yang kapalan. “Kalau saja aku mampu, ingin rasanya aku melarikanmu dari rumah ini.”
            Di saat-saat tertentu pemuda itu selalu mengawasi Melati secara diam-diam. “Pada saatnya nanti, Melati akan tumbuh menjadi bunga yang sangat cantik. Ia persis ibunya,” pemuda itu tersenyum penuh gairah. “Bukan hanya wajahnya, tapi juga tungkai kakinya,”  
Asmat senang membantu Melati setiap gadis itu membutuhkan uluran tangannya.
            Hingga kemudian lelaki asing yang mengaku ayah Melati datang. Gadis kecil itu girang tak kepalang. Dia tidak menyangka kalau ayahnya akan mencarinya dan menginginkan dirinya.  Memiliki seseorang yang mencintainya adalah mimpi terbesarnya. Melati menumpahkan kegembiraannya pada Asmat di belakang rumah neneknya.
            “Aku akan ikut dengan ayahku,” kata Melati.
            Wajah Asmat seketika berubah muram.
            Ayah melati memboyong anak gadisnya pergi tanpa pencegahan. Hanya Asmat yang kelihatan tak rela. Tak ada saat yang membuat dada Melati lega, selain hari itu. Ia berulang-ulang menghisap udara, seakan baru keluar dari balik penjara yang kejam. Kaki kecilnya berjalan ringan mengikuti langkah kaki ayahnya yang lebar. Ini hari pembebasan. Ini hari untuk pertama kalinya ia merasakan mendapatkan cinta. Ia seperti upik abu yang diboyong pangeran ke istana.
            “Tapi rumah ayah cuma gubuk. Di kampung pula. Ngga apa-apa ya?” ayahnya berkata seraya membelai rambutnya.
            Melati tertawa. Apapun itu, kemanapun ia akan dibawa, bagaimanapun keadaannya, kenyataan bahwa ayahnya menginginkan dirinya sudah cukup baginya. Setidaknya ada satu orang di dunia ini yang menyayanginya.
            Ayahnya benar. Mereka berdua menempati sebuah rumah kecil di pinggang bukit. Rumah yang amat sederhana. Tapi bagi melati itulah istana. Ia akan berbagi hari dengan seorang ayah yang mencintainya.
            “Kenapa ayah tidak kawin?” tanya Melati keesokan harinya. Setelah tahu bahwa mereka hanya tinggal berdua. Semula Melati mengira akan ada ibu tiri dan beberapa adik kecil yang harus dia asuh.
            “Hanya ibumu yang ayah cintai.”
            “Kalau ayah mencintai ibu, mengapa ayah meninggalkannya dulu ketika ibu mengandungku?”
            Ayahnya berpaling pada Melati. “Nenekmu yang mengatakan begitu?”
            Melati mengangguk.
            “Dia bohong. Ayah tidak meninggalkan ibumu. Justru merekalah yang mengusir ayah setelah tahu kalau ayah ini miskin.”
            “Lalu selama ini ayah ke mana? Mengapa ayah tidak pernah menengok Melati?”
            Lelaki itu tidak menjawab. Ia menatap awan yang berarak di angkasa. Bangau terbang berbaris, bergandengan seperti pasukan penerjun indah yang baru dimuntahkan dari pesawat. Ia tidak akan membiarkan putrinya tahu kalau ayahnya baru keluar dari penjara. Kemiskinan adalah ibu dari segala perbuatan kriminalitas. Dan kebodohan adalah nenek piutnya.
            Pada kemudian hari, Asmat membuktikan pada Melati bahwa ia amat memperdulikannya. Pemuda itu seringkali menjambangi melati di rumah kecilnya.  Bayangan wajah Melati telah merajai pikirannya. Ia tidak bisa membendung rasa kangen pada kaki jenjangnya yang telanjang. “Aku merindukanmu Melati,” kata Asmat. “Aku amat merana karena tidak bisa melihat kamu lagi di setiap pagi.”
            Asmat dan Melati kadang menghabiskan waktu lama di beranda depan. Mereka memang sudah sangat dekat sejak dulu. Tapi ayahnya tidak suka.
            “Janganlah mendekati Melati. Putriku masih terlalu kecil,” kata ayah Melati dingin.
            Tapi Asmat tidak surut langkah. Ia masih tetap datang. Hingga di suatu hari  dengan wajah pucat Melati menarik lengan Asmat ke belakang rumah.
            “Pulanglah cepat. Aku takut ayah membunuhmu.”
            “Tapi aku merindukanmu, Melati.”
            “Kubilang pulang,” tukas Melati diliputi ketakutan.
            Asmat menatap mata bening Melati lekat-lekat. Seakan tengah mencium wangi bibirnya yang ranum. “Kamu baik-baik saja, Melati?” tanyanya heran.
            “Aku akan baik-baik saja, asal kamu pulang.”
            Hati Melati semakin ngilu mengingat semua bencana yang telah merejam tubuh kecilnya. Laki-laki itu gila. Ia tidak menyayanginya seperti yang dia katakan. Melati bergidik mengingat tatapannya. Bola matanya semerah saga. Seperti binatang buas yang tengah birahi, ia menghempaskan tubuh Melati ke atas dipannya yang reot. Melati merintih lirih memohon dikasihani.
            “Bukan hanya wajahmu yang seperti ibumu, tapi tungkai kakimupun sama dengan tungkai kaki ibumu,” desisnya diantara nafasnya yang memburu..
            Melati mengendus bau alcohol dari mulutnya. Dunia serasa semakin kelam. Bibirnya kelu ketika sebilah pisau tertempel dingin di lehernya.  “Jangan katakan pada siapapun, kalau masih ingin berumur panjang.”
            Gadis kecil itu terisak pilu seraya memunguti pakaiannya yang berantak di lantai. Kini hari-hari baginya tak lebih dari sebuah ancaman. Setiap saat Asmat selalu datang. Tak perduli meski ayah Melati memarahinya. Tapi ia tidak berdaya. Karena kilauan pisau dalam genggaman kekar lengan laki-laki itu seperti malaikat maut.
            Namun malam ini, Melati telah memutuskan mengakhiri seluruh penderitaannya. Sederigen minyak tanah ditumpahkan di bawah dipan, di mana di atasnya lelaki bejat itu tengah tidur mendengkur setengah telanjang. Setelah mengoyak tubuh Melati, ia terlelap tak sadarkan diri. Dari bibir sungai itu, di bawah cahaya bulan yang temaram, Melati melihat rumah kecilnya mulai mengepulkan asap tebal. Mata kelamnya terus mengawasi dengan seksama. Lalu lidah api muncul dari celah jendela. Kian besar, dan kian membesar. Warna kemerahan itu menari-nari tertiup angin. Rumah kecilnya terlalap habis. Melati tersenyum getir. Lelaki itu terbaring di dalamnya diselimuti bara. Lidah api itu tengah membelainya, mendekapnya, dan mencumbunya.
            Tamatlah sudah. Dengan tangan gemetar, Melati mengambil batu besar, mengikatkannya di ujung roknya yang panjang. Bulan bersanding dengan burung hantu di ujung ranting, seperti sepasang mata Tuhan yang sengaja turun untuk menyaksikan tragedi itu. Bagi Melati, hidup tak lebih dari kutukan dan ia harus mengakhirinya. Dia hanya ingin dicintai. Tapi tak ada yang menyayanginya. Dengan tenang ia meluncurkan tubuh kurusnya ke dalam air sungai yang dingin. Sesaat permukaan air membuih, lalu kembali tenang. Burung hantu yang bertengger di ranting dahan mengabarkan berita pilu.
            Keesokan paginya, warga menemukan dan mengangkat tubuh kecil Melati dari dasar sungai. Asmat mendekap jasad beku Melati sambil menangis tersedu-sedu sampai lobang hidungnya penuh. Seharusnya Melati tahu, masih ada yang menangisi kepergiannya. (PUSKA  TANJUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar