GAUN BIRU




Rumah besar mertuaku sudah ramai, ketika aku dan keluargaku tiba. Penata rias sibuk mendekorasi seluruh rumah dengan back round berwarna emas yang mewah. Sebagian lagi sibuk menyusun bunga-bunga segar dipelaminan. Besok Windy, adik suamiku yang paling bungsu akan menikah.

“Lola kenapa baru datang…” Sambut ibu mertuaku riang. “Ibu kira kamu mau datang jauh-jauh hari sebelum hari h, ibu jadi tidak punya teman untuk berembuk.”

“Maafkan Lola bu, habis anak-anak tidak bisa ditinggal, mereka harus sekolah”

“Ya, ibu mengerti, sekarang anak-anak dimana?”

“Masih didepan, nurunin barang sama bapaknya.”

“Terus sekolahnya besok..?”

“Minta ijin libur dua hari. Ngga apa-apalah, kasihan, Mereka juga pengen lihat tantenya dirayain.”

Ditengah percakapan itu, seorang wanita cantik berusia diawal tiga puluh tahunan datang mendekati kami agak canggung. Dia menanyakan sesuatu pada ibu.

“Ada digudang, ambil saja.” Jawab ibu tak acuh.

Dan wanita itupun berlalu tanpa bicara apapun.

Melihat wanita itu, aku seperti dilanda de javu. Rasanya aku pernah melihat wanita cantik itu sebelumnya. Tapi dimana?

“Siapa dia bu?” Tanyaku spontan.

“Keponakannya istri wak Nur.”

Wak Nur adalah kakak ibu mertuaku yang paling tua. Dia tinggal diKalimantan. Menurut cerita ibu mertuaku, wak Nur hampir tidak pernah pulang kekampung halaman. Bahkan sejak aku menikah dengan mas Indra, lima belas tahun yang lalu, hingga kini putri pertamaku menginjak remaja, sekalipun aku belum pernah bertemu dengan wak Nur.

Pada keesokan pagi harinya, Ketika Windy tengah dirias dikamar pengantin, sementara aku dan beberapa kerabat suamiku yang sudah sangat kukenal, tengah ribut memilih kebaya dari koper yang sudah disediakan tukang rias, wanita itu masuk. Ia kelihatannya baru selesai mandi.

“Kata ibu, tadi Windy manggil saya?” Tanya wanita itu.

“Oh ya.” Windy yang tengah sibuk didandani berpaling pada wanita itu. “Mbak Riris juga harus mengenakan kebaya.”

Oh namanya Riris, kataku dalam hati.

Sejenak wanita itu terdiam. Sekilas ia melempar pandangan aneh padaku. “Ngga usahlah, Mba Ririskan tugasnya cuma didapur, jadi pembantu.” Cetusnya sinis.

“Kok mba Riris ngomong kaya gitu sih, Windy jadi ngga enak nih.”

“Sudahlah ngga usah dipikirin.” Lalu dia keluar dari kamar.

Windy jadi kelihatan serba salah.

Aku sendiri agak heran. Ada apa dengan wanita itu? Mengapa ia tampak begitu sinis, sedih, dan tertekan. Tapi aku tak begitu berniat untuk mencari tahu.

Pada jam 9 pagi, rombongan keluarga pengantin laki-laki tiba. Kami menyambutnya dengan musik gamelan dan acara buka pintu yang mendayu-dayu. Mas Indra yang ganteng semakin tampan mengenakan stelan blangkon dengan keris dipunggungnya. Ia menggamit lenganku yang membawa untaian melati diatas baki. Sebagai anak tertua, mas Indralah yang akan mengalungkan melati itu dileher calon mempelai pria. Bahkan Mas Indra jugalah yang nanti akan menikahkan Windy, menggantikan almarhum bapaknya. Tapi dasar mas Indra, ditengah acara sesakral itupun ia masih sempat menggodaku. “Mam kamu cantik sekali mengenakan kebaya ini, sungguh.”

“Huss! Jangan memuji ditengah umum, malu.” Sergahku manja sambil mencubit lengannya.

Mas Indra dengan mesra menggamit pinggangku.. Dia memang senantiasa membuatku tersanjung, dengan tumpahan kemesraan yang tidak pernah kering. Sebagai istri aku amat bangga bersuamikan dia. Mas Indra adalah tipikal suami idaman. Disamping ketampanan yang dimilikinya, ia juga tipe pria setia. Ia amat memanjakanku dan anak-anak. Hanya satu kekurangannya, ia teramat posesif. Mas Indra tak pernah membiarkanku pergi keluar sendirian. Bahkan untuk belanja kepasarpun, ia selalu menyempatkan diri untuk mengantar.

“Aku ngga rela. Takut ada lelaki yang ngegodai kamu dijalan.”

“Siapa lagi yang mau ngegodain ema-ema kaya gini, akukan sudah tua.”

“Siapa bilang kamu sudah tua, kamu masih sangat cantik kok.” Sanjung mas Indra selalu, membuat pipiku memerah.

Kali inipun begitu. Semakin banyak orang, ia semakin menampakan kemesraannya. Tingkahnya seolah menyiratkan bahwa kami adalah pasangan yang paling serasi. Tangan mas Indra sedetikpun tak lepas menggamit pinggangku. Pada saat itulah mataku menangkap sosok Riris yang tengah mengawasiku dari kejauhan. Ia berada dibarisan rombongan keluarga suamiku. Wanita cantik itu mengenakan gaun berwarna biru. Seketika aku teringat pada acara resepsi khitanan putraku yang paling bungsu, lima bulan yang lalu.Ya lima bulan yang lalu. Berarti wanita bergaun biru yang datang keacara khitanan putraku adalah Riris. Gaun biru yang dikenakan Riris itu, persis gaun biru yang kami temukan dibutik langgananku.

Kala itu mas Indra, mengajak aku dan anak-anak belanja pakaian . Dibutik itulah kami menemukan gaun berwarna biru. Mas Indra sangat menyukainya. Ia ingin membelikannya untukku. Tapi setelah dipas, ternyata gaun itu agak kebesaran untuk ukuran tubuhku yang mungil. Mas Indra sempat meradang karena kecewa.

“Padahal gaun itu bagus sekali lho mam, aku ngebayangin kamu mengenakannya. Pasti sangat bagus sekali. Kesannya elegan. Coba tubuh kamu agak tinggi sedikit saja.”

“Sudahlah pa, baju yang kita beli ini saja bagus kok.”

“ Ngga sih aku cuma suka saja warna biru.”

Aku tahu betul kalau suamiku amat suka warna biru. saking fanatiknya hampir semua barang milik pribadinya berwarna biru, dari mobil, hand phon, tas kerja, sampai seluruh rumah di cat warna biru. Kadang aku bosan, mataku sakit melihat seluruh isi rumah, sejauh mata memandang hampir nyaris didominasi warna biru.

Kembali kegaun warna biru, kala itu sehari sesudah resepsi khitanan gaun warna biru yang dikenakan Riris menjadi topik bahasan dirumah ku. Yang pertama membuka adalah aku.karena ingat mas Indra yang begitu beranimo ingin memeiliki gaun itu untukku.

“Put ingat ngga wanita yang mengenakan gaun warna biru kemarin ?“ Tanyaku pada putri sulungku.

“Yang mana ma ?”

“Yang itu. Yang datang bareng mbah Putri dan mba Windy.”

“ Oh iya ingat-ingat! itukan persis gaun yang mau mama beli waktu itu.”

“Persis banget ya put ?”

“Yakin persis banget ma. Detailnya persis.”

“kata papa kamu, kalau beli gaun dibutik itu enak, ngga bakalan ada yang nyamain. Buktinya itu ada yang pakai.”

Mas Indra yang tengah main game dicomputernya, merasa terganggu dengan percakapan aku dan Putri. ” Ada apasih, dari tadi kok pada rebut aja.”

“Ituloh pa, papa ingat ngga sama perempuan yang pakai gaun biru, di acara khitanan Emil kemarin.”

“Ya kenapa ? Tanya suamiku tak acuh .

“Gaun itukan persis seperti gaun yang waktu itu mau dibelikan papa untuk mama.”

“Ya lalu ?”

“Siapa sih perempuan itu pa, kayanya saudara papa deh. Dia duduknya saja bareng sama tante Windy. Masa sih papa ngga kenal.”

“Putri, saudara papa itu banyak sekali, ditambah lagi dengan saudara bawaan, misalnya sepupu dari istrinya sianu, atau suami dari adik ipar siapa. Kan papa tidak mungkin harus mengingat dan mengenal semuanya. Coba bayangin, sama wak Nur yang diKalimantan aja, sampai saat ini papa ngga tahu anak-anaknya seperti apa.”

Disaat acara ijab Kabul pernikahan Windy, aku duduk mendampingi mas Indra yang kala itu berperan sebagai wali atas Windy. Entah kenapa Riris, wanita bergaun biru itu duduk pas dibelakang kami berdampingan dengan ibu mertuaku. Keberadaannya menyiratkan bahwa ia memiliki pertalian keluarga yang amat dekat. Padahal kata ibu, ia cuma keponakannya istri wak Nur. Tapi kala itu aku tidak begitu memikirkannya. Namun disaat acara Ijab Kabul usai, dan seluruh keluarga tenggelam dalam tangis haru mengiringi ucapan selamat dan peluk cium pada kedua mempelai, aku melihat Riris. Diapun menangis. Tapi tangisan Riris, bukan tangis haru seperti yang lainnya. Tangisan Riris lebih merupakan ungkapan kepiluan hati yang teramat dalam.

Seketika terbersit dalam benakku, untuk mencari tahu, kesedihan apa sebenarnya yang tengah melanda gadis itu. Aku yang selama ini tak begitu memperdulikan Riris, merasa tergelitik ingin mengenal dia lebih dekat. Namun sayangnya saat itu aku tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Riris. Mas Indra yang manja terlalu mendominasi setiap gerakku, hingga kemudian aku pulang dan melupakan gadis itu.

Sebulan kemudian, mas Indra mendapat tugas kantor ke Singapura selama tiga hari. Kami sekeluarga mengantarkannya kebandara.

“Hati-hati ya dirumah, jaga anak-anak ya mam.” Pesan mas Indra sebelum berangkat.

“Ingat lho mam, jangan ngeluyur kemana-mana.” Mas Indra mengingatkanku sebelum masuk keBourding pass.

“Ngga. Tenang saja. Paling juga kepasar.”

Mas Indra melotot. “Jangan. Kepasar juga ngga boleh.”

Mulai… Sikap posesipnya kumat lagi. Rutukku dalam hati. “Aih kalau makanan dirumah habis gimana?”

“Tapi janji lho, cuma kepasar.”

Itulah mas Indra, setiap saat ia selalu membuat aturan. Dan sebagai istri yang baik, aku senantiasa mentaatinya. Namun pada hari ketiga setelah kepergian mas Indra, lemari esku kosong. Tidak ada lagi stok makanan untuk anak-anak, akhirnya aku terpaksa pergi kepasar.

Sepulang dari pasar, ojek yang kutumpangi terjebak macet diujung jalan menuju komplek tempat tinggalku. Sepertinya telah terjadi sebuah insiden. Kerumunan masa menyemut disekitar halaman sebuah rumah mungil yang cantik. Ada mobil ambulan terparkir dipinggir jalan, dan beberapa polisi tengah memasang garis kuning disepanjang pelataran rumah itu.

“Ada apa ya?” Tanyaku pada tukang ojek yang kutumpangi.

“Kurang tahu ya bu, mungkin ada kasus pembunuhan kali.”

Aku melirik jam ditanganku. “Aduh sudah siang. Sebentar lagi anak-anak pulang, mana belum masak lagi.” Keluhku.

Ojek yang kutumpangi tersendat pas tak jauh dari mobil ambulan. Dari tempat kejadian peristiwa, empat orang polisi menggotong sebuah tandu jenajah menuju mobil ambulan. Karena ojekku berada pas disamping mobil ambulan jadi aku sempat melihat, jenajah itu terkulai didalam tandu dengan ujung tangan masih meneteskan darah.

“Kelihatannya korban bunuh diri.” Gumam tukang ojek.

Jenajah itu seorang wanita, ia mengenakan gaun berwarna biru. Seketika hatiku tercekat, gaun biru itu, gaun biru yang dikenakan Riris. Aku ingin sekali melihat wajah wanita bergaun biru itu, tapi polisi menutupnya dengan sebuah kain. Namun sebelum jenajah itu dimasukan kedalam mobil, seorang polisi berbaju preman mendekati, membukakan kain penutup wajah korban dan mencatat. Disaat itulah aku melongok, tanpa kusadari aku berteriak. “Riris!” Aku melompat dari atas motor ojek dan menyeruak diantara kerumunan polisi. “Dia Riris, saudara jauh suami saya.”

“Ibu kenal suaminya?” Tanya polisi itu.

“Punya suami? Saya tidak tahu.”

“Ini data suaminya pak, ada nomor telephon genggamnya disini.” Seseorang menyerahkan secarik kertas ketangan polisi berbaju preman itu.

“Indra Herlambang. Ini nama suaminya?” Tanya polisi itu setengah bergumam.

Seketika kepalaku seperti disengat petir. “Indra Herlambang. Indra Herlambang itu nama suamiku.” Seketika aku berlari melintasi garis kuning. Beberapa polisi berteriak mencegah. Tapi sama sekali tidak kugubris. Langkahku dengan cepat membawa kedalam rumah mungil itu. Disana, didinding ruang tamu yang bercat biru, aku melihat sebuah foto artistik terpajang. Foto pengantin. Pengantin Riris dan Indra Herlambang suamiku. Seketika langit serasa tumpah diatas kepalaku. Kegaduhan dan hiruk pikik suara polisi yang mengejarku hilang. Yang ada hanya kegelapan tak berujung, dan kesunyian yang dingin.
Penulis : [ PUSKA TANJUNG.]



1 komentar: